PENDIRIAN, KEPEMILIKAN
DAN MODAL BANK
SYARIAH
Mulhadi[1]
A.
Pendirian
Bank Syariah
Pendirian
Bank Syariah harus memenuhi ketentuan perizinan, permodalan dan kepemilikan sebagaimana di atur di dalam
Pasal 5 sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
Setiap
pihak yang akan mendirikan atau melakukan kegiatan usaha Bank Syariah wajib
terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum Syariah (BUS), Unit
Usaha Syariah (UUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dari Bank
Indonesia. Hal ini kemudian dipertegas dan diperjelas dalam Pasal 4 (1) PBI No.
11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah,
dan Pasal 4 ayat (1) PBI No. 11/23/PBI/2009 tentang Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah, yang menyebutkan bahwa BUS/BPRS hanya dapat didirikan dan
melakukan kegiatan usaha setelah memperoleh izin (persetujuan prinsip dan izin
usaha) Bank Indonesia. Demikian juga halnya dengan UUS, dimana pembukaan UUS
hanya dapat dilakukan dengan izin (hanya izin usaha) Bank Indonesia.
Pemberian
izin oleh Bank Indonesia, baik untuk pendirian BUS maupun BPRS sesunggguhnya
dilakukan melalui 2 (dua) tahap, yaitu :
1.
Tahap persetujuan prinsip; dan
2.
Tahap izin usaha
1.
Persetujuan
Prinsip
Persetujuan
prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian Bank. Permohonan
untuk mendapatkan persetujuan prinsip diajukan paling kurang oleh salah satu
calon pemilik BUS kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung.
Permohonan dimaksud harus disertai dengan pemenuhan setoran modal paling kurang
30% (tiga puluh persen) dari modal
disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5[2]
yang dibuktikan dengan dokumen pendukung.[3]
Ketentuan
yang sama juga berlaku dalam hal permohonan untuk mendapatkan persetujuan
prinsip BPRS, dengan disertai dokumen pendukung sebagai berikut :
a. akta
pendirian atau rancangan akta pendirian badan hukum Perseroan Terbatas (PT),
termasuk anggaran dasar atau rancangan anggaran dasar;
b. daftar
pemegang saham berikut rincian besarnya masingmasing kepemilikan saham;
c. daftar
calon anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan anggota DPS disertai dengan
dokumen yang akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia;
d. studi
kelayakan mengenai potensi ekonomi dan peluang pasar;
e. rencana
bisnis (business plan); dan
f. bukti
setoran modal paling kurang 30% (tiga puluh persen) dari modal disetor minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
Persetujuan
atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip diberikan paling lambat 60
(enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip diberikan Bank
Indonesia berdasarkan pada:
a. penelitian
atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. analisis
yang mencakup antara lain tingkat persaingan yang sehat antar Bank dan Unit
Usaha Syariah, tingkat kejenuhan jumlah Bank dan Unit Usaha Syariah serta
pemerataan pembangunan ekonomi nasional; dan
c. uji
kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap calon PSP, calon
anggota Dewan Komisaris, dan calon anggota Direksi, serta wawancara terhadap
calon anggota DPS.
Selain
ketentuan sebagaimana dimaksud di atas, pihak-pihak yang mengajukan permohonan
pendirian BUS wajib melakukan presentasi kepada Bank Indonesia mengenai
keseluruhan rencana pendirian Bank.
Hal-hal yang harus dipresentasikan antara lain:
a. tujuan
dan alasan pendirian Bank,
b. sumber
permodalan dan kepemilikan,
c. pangsa
utama penghimpunan dana,
d. pangsa
utama penyaluran dana, serta
e. rencana
struktur dan personil organisasi.
Tidak
jauh berbeda dengan kewajiban bagi calon pemilik BUS di atas, bagi calon
pemilik BPRS juga harus memberikan presentasi atau penjelasan mengenai sumber
dana, rencana dan tujuan pendirian serta kemampuan keuangan dalam rangka
memelihara solvabilitas dan pertumbuhan BPRS.
Persetujuan prinsip sebagai salah
satu syarat pendirian BUS atau BPRS, berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun
terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip diterbitkan. parena Persetujuan
prinsip sifatnya baru merupakan persetujuan untuk melakukan “persiapan”
pendirian Bank, pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip belum
diperkenankan (dilarang) melakukan
kegiatan usaha Bank, sebelum mendapat izin usaha. Apabila setelah jangka waktu
1 (satu) pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip belum mengajukan permohonan izin usaha kepada
Bank Indonesia, maka persetujuan prinsip yang telah diberikan menjadi tidak
berlaku.
2.
Izin
Usaha
Izin
usaha, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha Bank setelah
persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan.
Untuk
memperoleh izin usaha, Bank Syariah harus memenuhi persyaratan
sekurang-kurangnya tentang:
a.
Susunan organisasi dan kepengurusan;
b.
Permodalan;
c.
Kepemilikan;
d.
Keahlian di bidang perbankan syariah; dan
e.
Kelayakan usaha.
Permohonan
untuk mendapatkan izin usaha diajukan oleh pihak yang telah mendapat
persetujuan prinsip kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung.
Permohonan sebagaimana dimaksud harus disertai dengan pelunasan modal disetor
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang dibuktikan dengan dokumen
pendukung. Dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Bagi
Bank Umum Syariah (BUS), persyaratan dokumen yang harus dipenuhi untuk
memperoleh izin usaha adalah sebagai berikut :[4]
1.
Akta
pendirian atau rancangan akta pendirian badan hokum Perseroan Terbatas (PT), termasuk
anggaran dasar atau rancangan anggaran dasar yang paling kurang memuat:
a.
nama
dan tempat kedudukan;
b.
kegiatan
usaha sebagai Bank;
c.
modal;
d.
kepemilikan;
e.
ketentuan
pengangkatan anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan anggota DPS dengan
memperoleh persetujuan Bank Indonesia terlebih dahulu;
f.
ketentuan
mengenai jumlah, tugas, kewenangan, tanggung jawab, serta persyaratan lain yang
menyangkut Dewan Komisaris, Direksi, dan DPS sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
g.
ketentuan
Rapat Umum Pemegang Saham Bank yang menetapkan tugas manajemen, remunerasi
Dewan Komisaris dan Direksi, laporan pertanggungjawaban tahunan, penunjukan dan
biaya jasa akuntan publik, penggunaan laba, dan hal-hal lainnya yang ditetapkan
dalam ketentuan Bank Indonesia; dan
h.
ketentuan
Rapat Umum Pemegang Saham yang harus dipimpin oleh Presiden Komisaris atau
Komisaris Utama;
2.
Daftar
pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham;
3.
Daftar calon anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi,
dan anggota DPS disertai dengan dokumen pelengkap;
4.
Rencana
susunan dan struktur organisasi serta nama-nama calon pejabat sampai dengan
tingkat Pejabat Eksekutif;
5.
Studi
kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi;
6.
Rencana
bisnis (business plan) yang paling kurang memuat:
a.
rencana
kegiatan usaha yang mencakup penghimpunan dan penyaluran dana serta strategi
pencapaiannya; dan
b.
proyeksi
neraca bulanan dan laporan laba rugi kumulatif bulanan, selama 12 (dua belas)
bulan yang dimulai sejak Bank beroperasi;
7.
Rencana
korporasi (corporate plan) berupa rencana strategis jangka panjang dalam
rangka mencapai tujuan Bank;
8.
Pedoman
manajemen risiko termasuk pedoman risk control system, rencana sistem
pengendalian intern, rencana sistem teknologi informasi yang digunakan, dan pedoman
mengenai pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate
Governance);
9.
Sistem
dan prosedur kerja yang lengkap dan komprehensif yang digunakan dalam kegiatan
operasional Bank;
10.
Bukti
setoran modal paling kurang 30 % (tiga puluh persen) dari modal disetor dalam
bentuk fotokopi bilyet deposito ib dari Bank atau Unit Usaha Syariah di
Indonesia yang telah dilegalisir, atas nama “Dewan Gubernur Bank Indonesia qq.
Salah satu PSP“ atau “qq. Salah satu pemilik“ dalam hal PSP berhalangan. Bilyet
deposito ib tersebut harus mencantumkan keterangan bahwa pencairannya hanya
dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Dewan Gubernur Bank
Indonesia. Dalam hal pendirian Bank dilakukan oleh Pemerintah maka ketentuan
mengenai bukti setoran modal dan tata cara penyetoran modal dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku; dan
11.
Surat
pernyataan dari pemegang saham bahwa sumber dana yang digunakan dalam rangka
kepemilikan Bank:
a.
tidak
berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank
dan/atau pihak lain; dan/atau
b.
tidak
berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundering).
Bagi
Unit Usaha Syariah (UUS), persyaratan dokumen yang harus dipenuhi untuk
memperoleh izin usaha adalah sebagai
berikut :[5]
a.
Rancangan
perubahan anggaran dasar, yang paling kurang memuat kegiatan usaha UUS
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.
Identitas
dan dokumen pendukung calon Direktur UUS;
c.
Identitas
calon Pejabat Eksekutif;
d.
Daftar
calon anggota Dewan Pengawas Syariah;
e.
Surat
pernyataan Direksi BUK mengenai alokasi dana dari BUK untuk modal kerja UUS;
f.
Studi
kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi;
g.
Rencana
bisnis (business plan) UUS untuk tahun pertama dan jangka menengah (tiga
tahun);
h.
Bukti
kesiapan operasional;
i.
Sistem
dan prosedur kerja termasuk pedoman (manual) kegiatan operasional UUS yang
lengkap;
j.
Rencana
struktur organisasi dan nama-nama calon Pejabat Eksekutif; dan
k.
Surat
pernyataan dari BUK mengenai kesanggupan untuk menanggulangi kesulitan
likuiditas yang dialami oleh UUS.
l.
Neraca
intern BUK posisi bulan terakhir sebelum permohonan izin usaha UUS yang
ditandatangani oleh Direksi BUK dan diketahui oleh Dewan Komisaris.
Permohonan
untuk mendapatkan izin usaha BPRS juga diajukan oleh pihak yang telah mendapat
persetujuan prinsip disertai dengan dokumen pendukung, antara lain:
a. akta
pendirian badan hukum Perseroan Terbatas (PT), yang memuat anggaran dasar yang
telah disahkan oleh instansi berwenang;
b. daftar
pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b PBI No.
11/23/PBI/2009 tentang BPRS, dalam hal terjadi perubahan pemegang saham;
c. daftar
calon anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan anggota DPS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c PBI No. 11/23/PBI/2009 tentang BPRS,
dalam hal terjadi perubahan calon anggota Dewan Komisaris, Direksi dan/atau
DPS; dan
d. bukti
pemenuhan modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 PBI No.
11/23/PBI/2009 tentang BPRS.[6]
Khusus
untuk permohonan izin usaha UUS, diajukan oleh BUK disertai dengan
antara lain:[7]
a. rancangan
perubahan anggaran dasar yang paling kurang memuat kegiatan usaha UUS;
b. identitas
dan dokumen pendukung Direktur yang akan bertanggung jawab penuh terhadap UUS,
calon anggota DPS dan calon Pejabat Eksekutif;
c. studi
kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi; dan
d. rencana
bisnis (business plan) UUS untuk tahun pertama dan jangka menengah.
Bank
Umum Konvensional (BUK) yang mengajukan permohonan izin usaha UUS sebagaimana
dimaksud di atas juga harus memberikan penjelasan mengenai keseluruhan rencana
pembukaan UUS.
Pasal
11 PBI No.
11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah menyebutkan bahwa persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin usaha BUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diberikan paling
lambat 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha diberikan Bank Indonesia
berdasarkan pada:
a. penelitian
atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. uji kemampuan
dan kepatutan (fit and proper test) dan wawancara terhadap pihak-pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)[8]
huruf c PBI No.
11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah dalam hal
terdapat penggantian.
Bank
yang telah mendapat izin usaha dari Bank Indonesia wajib melakukan kegiatan
usaha Bank paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal izin
usaha diterbitkan. Pelaksanaan kegiatan usaha tersebut wajib dilaporkan oleh
Presiden Direktur atau Direktur Utama (bagi BUS) atau Direksi (bagi BPRS)
kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
pelaksanaan kegiatan usaha. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud di
atas Bank belum melakukan kegiatan usaha, maka izin yang telah diberikan
menjadi tidak berlaku.[9]
Bank Syariah yang telah
mendapat izin usaha sebagaimana telah dijelaskan di atas wajib mencantumkan
dengan jelas kata “Syariah” pada penulisan nama banknya, baik sesudah kata Bank atau setelah nama bank pada
penulisan namanya. Yang diwajibkan mencantumkan kata “syariah” hanya Bank
Syariah yang mendapatkan izin setelah berlakunya Undang-Undang Perbankan
Syariah. Penulisan kata “syariah” ditempatkan setelah kata “bank” atau setelah
nama bank.
Bagi
Bank Umum Konvensional yang telah mendapat izin usaha UUS juga wajib
mencantumkan dengan jelas frase “Unit Usaha Syariah” setelah setelah nama BUK
dan logo iB pada kantor UUS yang bersangkutan. Hal serupa berlaku bagi BPRS,
dimana wajib mencantumkan secara jelas
frase “Bank Pembiayaan Rakyat Syariah” atau “BPR Syariah” atau “BPRS” pada
penulisan namanya dan logo iB pada kantor BPRS yang bersangkutan.
Perlu ditegaskan bahwa Bank
Konvensional hanya dapat mengubah kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah
dengan izin Bank Indonesia. Bank Umum Syariah tidak dapat dikonversi menjadi
Bank Umum Konvensional. Demikian juga Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak
dapat dikonversi menjadi Bank Perkreditan Rakyat. Bagi Bank Umum Konvensional
yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib membuka UUS
di kantor pusat bank dengan izin Bank Indonesia.
Berhubungan
dengan pembukaan Kantor Cabang Bank Syariah dan UUS, menurut Undang-Undang
Perbankan Syariah, hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. Demikian
juga dengan pembukaan Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor
lainnya di luar negeri oleh Bank Umum Syariah dan Bank Umum Konvensional yang
memiliki UUS hanya dapat dilakukan
dengan izin Bank Indonesia.
Pembukaan
kantor di bawah Kantor Cabang, wajib dilaporkan dan hanya dapat dilakukan
setelah mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan
“kantor di bawah Kantor Cabang” adalah kantor cabang pembantu atau kantor kas
yang kegiatan usahanya membantu kantor induknya.
Bebeda
halnya dengan Bank Syariah dan UUS, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak
diizinkan untuk membuka Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis kantor
lainnya di luar negeri.
Ketentuan yang lebih rinci mengenai tata cara
pendirian bank syariah dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia yaitu SK Direksi BI No.32/33/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999
tentang Bank Umum, SK Direksi BI No.32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang
Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, SK Direksi BI No.32/36/KEP/DIR tanggal
12 Mei 1999 tentang Bank Pembiayaan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. Kedua
SK Direktur BI yang terakhir ini telah diganti dengan Peraturan Bank Indonesia
PBI No.6/24/PBI/2004 tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum yang
melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah jo PBI No.7/35/PBI/2005
tanggal 25 September 2005 tentang Perubahan atas PBI No.6/24/PBI/2004 tentang
Bank Umum yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan
terakhir dengan PBI No. 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah. Bagi Bank
Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah saat ini diatur dalam PBI
No.6/17/PBI/2004 yang sudah dirobah dengan PBI No. 11/23/PBI/2009 tentang Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah yang diundangkan di Jakarta tanggal 1 Juli 2009.
Sedangkan untuk Unit Usaha Syariah (UUS) diatur dalam PBI No.11/10/PBI/2009
tentang Unit Usaha Syariah (UUS) yang
ditetapkan dan atau diundangkan di Jakarta pada 19 Maret 2009.
B.
Kepemilikan Bank Syariah
Menurut
ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Perbankan Syariah atau Pasal 6 PBI No.
11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah, bahwa BUS hanya dapat didirikan
dan/atau dimiliki oleh :
a.
Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia;
b.
Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia
dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing[10]
secara kemitraan; atau
c.
Pemerintah daerah.
Masih
merujuk pada ketentuan yang sama, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat
didirikan dan/atau dimiliki oleh :[11]
a.
Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia
yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia;
b.
Pemerintah daerah; atau
c.
Dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf
a dan huruf b.
Apabila
salah satu pihak yang akan mendirikan Bank Umum Syariah adalah badan hukum
asing, yang bersangkutan terlebih dahulu harus memperoleh rekomendasi dari
otoritas perbankan negara asal. Rekomendasi dimaksud sekurang-kurangnya memuat
keterangan bahwa badan hukum asing yang bersangkutan mempunyai reputasi yang
baik dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang perbankan.
Kepemilikan
Bank oleh badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 UU Perbankan Syariah
paling tinggi sebesar “modal sendiri bersih” (istilah yang dipakai dalam PBI
No.11/3/PBI/2009 tentang BUS) atau “modal bersih” (istilah yang dipakai dalam
PBI No.11/23/PBI/2009 tentang BPRS) badan hukum yang bersangkutan. Ketentuan
ini baerlaku baik bagi BUS maupun BPRS.
Penjelasan
Pasal 14 PBI No.11/3/PBI/2009 tentang BUS menguraikan lebih lanjut mengenai apa
yang dimaksud dengan “modal sendiri bersih”, yaitu :
a. penjumlahan
dari modal disetor, cadangan dan laba, dikurangi penyertaan dan kerugian, bagi
badan hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah;
b. penjumlahan
dari simpanan pokok, simpanan wajib, hibah, modal penyertaan, dana cadangan,
dan sisa hasil usaha, dikurangi penyertaan dan kerugian, bagi badan hukum
Koperasi; atau
c. perhitungan
modal sendiri bersih atau yang dapat dipersamakan dengan itu sesuai jenis badan
hukum yang bersangkutan, bagi badan hukum lainnya.
Sedangkan
Penjelasan Pasal 12 PBI No.11/23/PBI/2009 tentang BPRS juga memberikan uraian
lebih tegas dengan versi berbeda mengenai apa yang dimaksud dengan “modal
bersih” adalah:
a.
penjumlahan dari modal disetor, cadangan umum,
cadangan tujuan, laba tahun lalu dan laba tahun berjalan dikurangi penyertaan
dan kerugian, untuk badan hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah;
b.
penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib,
hibah, modal penyertaan, dana cadangan, dan sisa hasil usaha, dikurangi
penyertaan dan kerugian, untuk badan hukum Koperasi; atau
c.
perhitungan modal bersih atau yang dapat dipersamakan
dengan itu sesuai jenis badan hukum yang bersangkutan, untuk badan hukum
lainnya.
Secara
umum ketentuan dalam penjelasan dua pasal di atas sebenarnya sama. Hal yang
terlihat berbeda adalah penggunaan istilah “modal sendiri bersih” yang dipakai
dalam ketentuan PBI No.11/3/PBI/2009 tentang BUS, yang mana dalam PBI
No.11/23/PBI/2009 tentang BPRS istilah
tersebut lebih disederhanakan menjadi “modal bersih”. Kemudian, dalam PBI
No.11/23/PBI/2009 tentang BPRS, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
“cadangan” adalah meliputi cadangan umum dan cadangan tujuan. Demikian juga
dengan “laba” adalah terdiri dari laba tahun lalu dan laba tahun berjalan.
Uraian mengenai hal ini tidak ditemui dalam penjelasan Pasal 14 PBI
No.11/3/PBI/2009 tentang BUS.
Sumber
dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan Bank, baik BUS maupun BPRS
dilarang berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun
dari bank dan/atau pihak lain[12];
dan/atau berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundering).
Selain
itu, pihak-pihak yang dapat menjadi pemilik Bank juga wajib memenuhi
persyaratan integritas, yang paling kurang mencakup :
a. memiliki
akhlak dan moral yang baik;
b. memiliki
komitmen untuk mematuhi peraturan perbankan syariah dan peraturan
perundang-undangan lain yang berlaku; dan
c. memiliki
komitmen yang tinggi[13]
terhadap pengembangan Bank yang sehat dan tangguh (sustainable).
Pihak-pihak
yang dapat menjadi Pemegang Saham Pengendali (PSP) Bank wajib memenuhi
persyaratan integritas dan kelayakan keuangan. Pemegang Saham Pengendali yang
selanjutnya disebut dengan PSP adalah badan hukum, orang perseorangan, dan/atau
kelompok usaha yang :[14]
a. memiliki
saham Bank sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham
yang dikeluarkan dan memiliki hak suara; atau
b. memiliki
saham Bank kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang
dikeluarkan dan memiliki hak suara tetapi yang bersangkutan dapat dibuktikan
telah melakukan pengendalian Bank baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pengendalian
merupakan suatu tindakan yang bertujuan untuk memengaruhi pengelolaan dan/atau
kebijakan perusahaan, termasuk bank, dengan cara apa pun, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Pengendalian terhadap Bank Syariah dapat dilakukan dengan
cara-cara, antara lain, sebagai berikut:
a. memiliki
secara sendiri-sendiri atau bersama-sama 25% (dua puluh lima persen) atau lebih
saham Bank;
b. secara
langsung menjalankan manajemen dan/atau memengaruhi kebijakan Bank Syariah;
c. memiliki
hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham yang apabila digunakan akan
menyebabkan pihak tersebut memiliki dan/atau mengendalikan secara
sendiri-sendiri atau bersama-sama 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham
Bank;
d. melakukan
kerja sama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai tujuan bersama dalam
mengendalikan Bank (acting in concert) dengan atau tanpa perjanjian
tertulis dengan pihak lain sehingga secara bersama-sama memiliki dan/atau
mengendalikan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank Syariah, baik
langsung maupun tidak langsung dengan atau tanpa perjanjian tertulis;
e. melakukan
kerja sama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai tujuan bersama dalam
mengendalikan Bank (acting in concert) dengan atau tanpa perjanjian
tertulis dengan pihak lain sehingga secara bersama-sama mempunyai hak opsi atau
hak lainnya untuk memiliki saham, yang apabila hak tersebut dilaksanakan
menyebabkan pihak-pihak tersebut memiliki dan/atau mengendalikan 25% (dua puluh
lima persen) atau lebih saham Bank Syariah;
f. mengendalikan
satu atau lebih perusahaan lain yang secara keseluruhan memiliki dan/atau
mengendalikan secara bersama-sama 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham
Bank;
g. mempunyai
kewenangan untuk menyetujui dan/atau memberhentikan pengurus Bank Syariah;
h. secara
tidak langsung memengaruhi atau menjalankan manajemen dan/atau kebijakan Bank
Syariah;
i.
melakukan pengendalian terhadap perusahaan induk atau
perusahaan induk di bidang keuangan dari Bank Syariah; dan/atau
j.
melakukan pengendalian terhadap pihak yang melakukan
pengendalian sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf i.
Calon
pemegang saham pengendali Bank Syariah wajib lulus uji kemampuan dan kepatutan
yang dilakukan oleh Bank Indonesia.[15]Uji
kemampuan dan kepatutan sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia untuk
menilai kompetensi, integritas, dan kemampuan keuangan pemegang saham
pengendali dan/atau pengurus bank. Mengingat tujuan uji kemampuan dan kepatutan
adalah untuk memperoleh pemegang saham pengendali dan pengurus bank yang dapat
menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, penilaian dalam rangka uji
kemampuan dan kepatutan oleh Bank Indonesia tidak perlu dipertanggungjawabkan.
Pemegang
saham pengendali yang tidak lulus uji kemampuan dan kepatutan wajib menurunkan
kepemilikan sahamnya menjadi paling banyak 10% (sepuluh persen). Kewajiban
menurunkan kepemilikan saham bagi Pemilik Bank yang tidak lulus uji kemampuan
dan kepatutan adalah dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak dinyatakan tidak
lulus uji kemampuan dan kepatutan.
Apabila
pemegang saham pengendali tidak bersedia menurunkan kepemilikan sahamnya maka:
a. hak suara
pemegang saham pengendali tidak diperhitungkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham;
b. hak suara
pemegang saham pengendali tidak diperhitungkan sebagai penghitungan kuorum atau
tidaknya Rapat Umum Pemegang Saham;
c. deviden
yang dapat dibayarkan kepada pemegang saham pengendali paling banyak 10%
(sepuluh persen) dan sisanya dibayarkan setelah pemegang saham pengendali
tersebut mengalihkan kepemilikannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
d. nama
pemegang saham pengendali yang bersangkutan diumumkan kepada publik melalui 2
(dua) media massa yang mempunyai peredaran luas.
Perubahan
pemilik Bank tunduk kepada tata cara perubahan pemilik Bank yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai penggabungan (merger),
peleburan (konsolidasi), dan pengambilalihan (akuisisi) bank dan/atau mengenai
pembelian saham bank umum. Perubahan PSP sebagai akibat adanya pewarisan tidak
diperlakukan sebagai pengambilalihan (akuisisi)[16]
namun tetap wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.[17]
Khusus untuk BPRS, perubahan kepemilikan BPRS yang tidak mengakibatkan
perubahan dan/atau terjadinya PSP baru wajib dilaporkan oleh Direksi BPRS
kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah perubahan.[18]
Perubahan
komposisi kepemilikan Bank yang tidak mengakibatkan perubahan pengendalian,
baik yang mengakibatkan maupun tidak mengakibatkan penggantian, pengurangan,
dan/atau penambahan pemilik wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia
paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah perubahan dilakukan disertai dengan
dokumen pendukung.
BUS dapat melakukan penawaran umum
efek melalui pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah
dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Siapa saja sesungguhnya
boleh memiliki atau membeli saham BUS secara langsung atau melalui bursa efek,
baik yang berstatus warga negara Indonesia, warga negara asing, badan hukum
Indonesia, atau pun badan hukum asing. Maksimum kepemilikan oleh warga negara
asing dan/atau badan hukum asing paling banyak sebesar 99% (sembilan puluh
sembilan persen) dari modal disetor Bank.[19]Namun
pemerintah belum mebuka kemungkinan bagi warga negara asing dan/atau badan
hukum asing, baik untuk mendirikan, memiliki maupun membeli saham BPRS, sesuai
sifatnya sebagai bank pembiayaan yang khusus diperuntukkan bagi rakyat
Indonesia kecuali undang-undang mengatur sebaliknya.
C.
Modal dan
Perubahan Modal Bank Syariah
Modal merupakan faktor yang sangat
penting bagi perkembangan dan kemajuan bank sekaligus berfungsi sebagai penjaga
kepercayaan masyarakat. Menurut Zainul Arifin, modal bank mempunyai 3 (tiga)
fungsi, yaitu :
1)
Sebagai
penyangga untuk menyerap kerugian operasional dan kerugian lainnya. Dalam
fungsi ini modal memberikan perlindungan terhadap kegagalan atau kerugian bank
dan perlindungan terhadap kepentingan para deposan.
2)
Sebagai
dasar bagi penetapan batas maksimum pemberian kredit. Hal ini merupakan
pertimbangan operasional bagi bank sentral sebagai regulator, untuk membatasi
jumlah pemberian kredit kepada setiap individu nasabah bank. Melalui pembatasan
ini bank sentral memaksa bank untuk melakukan diversifikasi kredit mereka agar
dapat melindungi diri terhadap kegagalan kredit dari satu individu debitur.
3)
Modal
juga menjadi dasar perhitungan bagi para partisipan pasar untuk mengevaluasi
tingkat kemampuan bank secara relatif dalam menghasilkan keuntungan. Tingkat
keuntungan bagi para investor diperkirakan dengan membandingkan keuntungan
bersih dengan ekuitas.
Sesuai
dengan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Perbankan Syariah, besarnya modal
disetor minimum untuk mendirikan Bank Syariah ditetapkan dalam Peraturan Bank
Indonesia.
Saat
ini, peraturan yang mengatur mengenai besarnya modal disetor bagi bank syariah
bisa dipedomani Peraturan Bank Indonesia No.11/3/PBI/2009
tentang Bank Umum Syariah dan Peraturan Bank Indonesia No. 11/10/PBI/2009 tentang Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah.
Bank sebagai sebuah Perseroan
Terbatas (PT) tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas. UU PT 2007, Pasal 32 ayat (1) mengatur bahwa Modal dasar
Perseroan paling sedikit Rp 50 juta (lima puluh juta rupiah). Tetapi mengenai
jumlah ini ternyata bukan ketentuan yang kaku, karena Undang-Undang yang
mengatur “kegiatan usaha tertentu” dapat menentukan jumlah minimum modal
Perseroan yang lebih besar daripada ketentuan modal dasar sebagaimana dimaksud
pada Pasal 32 ayat (1). Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha tertentu”
tersebut, antara lain usaha perbankan, asuransi, atau freight forwarding.[20]
Masih menurut UU PT, ada 3 (tiga)
jenis modal yang dikenal dalam pendirian PT, yaitu modal dasar, modal
ditempatkan dan modal disetor. Menurut Pasal 33 UU PT, dikatakan bahwa paling sedikit 25% dari modal
dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) harus ditempatkan (issued capital) dan seluruhnya (100 %
dari modal ditempatkan tersebut) harus disetorkan ke dalam kas Perseroan
sebagai paid capital.[21]
Perbankan (Perbankan Syariah) sebagai jenis
“kegiatan usaha tertentu” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 32 ayat (2) UU PT
di atas, telah mengatur ketentuan permodalan yang lebih besar seperti yang
tertuang dalam Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia No.11/3/PBI/2009 tentang Bank
Umum Syariah yang menentukan modal disetor untuk mendirikan Bank Umum Syariah
ditetapkan paling kurang sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah).
Yang dimaksud dengan “modal disetor” disini adalah setoran yang dilakukan dalam
bentuk setoran tunai dalam kas Perseroan yang dibuktikan dengan bukti
penyetoran yang sah. Namun demikian, khusus bagi Unit Usaha Syariah (UUS) yang
melakukan spin off dan beralih
menjadi Bank Umum Syariah (BUS), persyaratan modal disetor minimum 1 triliun
rupiah tersebut diturunkan menjadi 500 juta rupiah. Berikut bunyi Pasal 45 ayat
(2) Peraturan Bank Indonesia
No.11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah (UUS), sebagai berikut :
“Modal disetor pendirian BUS
hasil Pemisahan ditetapkan paling kurang sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima
ratus milyar rupiah)”.
Namun
demikian, dalam ayat berikutnya yakni ayat (4) ditentukan bahwa modal disetor
BUS hasil Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib ditingkatkan
secara bertahap menjadi paling kurang sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu
triliun rupiah) paling lambat 10 (sepuluh) tahun setelah izin usaha BUS
diberikan.
Khusus
bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), ketentuan permodalan minimum diatur
dalam tiga segmen sesuai tempat atau wilayah beroperasinya BPRS tersebut yang
selanjutnya dipertegas dalam Peraturan Bank Indonesia No.11/23/PBI/2009, Pasal
5 menentukan modal disetor BPRS sebesar :
a.
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk BPRS yang
didirikan di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya dan Kabupaten/Kota
Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi;
b.
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk BPRS
yang didirikan di wilayah ibukota propinsi di luar wilayah tersebut pada huruf
a di atas;
a.
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk BPRS
yang didirikan di luar wilayah tersebut pada huruf a dan huruf b di atas.
[3] Lihat Pasal 7 PBI No.
11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah
[6]
Pasal 5 PBI No. 11/23/PBI/2009 tentang BPRS menyebutkan bahwa
modal disetor BPRS paling kurang sebesar:
1) Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk BPRS yang didirikan di
wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya dan Kabupaten/Kota Bogor, Depok, Tangerang
dan Bekasi;
2) Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk BPRS yang didirikan di
wilayah ibukota propinsi di luar wilayah tersebut pada poin 1 di atas;
3) Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk BPRS yang didirikan di
luar wilayah tersebut pada poin 1 dan poin 2 di atas.
[8]
Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan
prinsip … diberikan Bank Indonesia berdasarkan pada:
a.
penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b.
analisis yang mencakup antara lain tingkat persaingan
yang sehat antar Bank dan Unit Usaha Syariah, tingkat kejenuhan jumlah Bank dan
Unit Usaha Syariah serta pemerataan pembangunan ekonomi nasional; dan
c.
uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test)
terhadap calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris, dan calon anggota Direksi,
serta wawancara terhadap calon anggota DPS.
[9]
Periksa Pasal 12 PBI No. 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah, atau Pasal 10
PBI No. 11/23/PBI/2009 tentang BPRS, atau Pasal 6 PBI No.11/10/PBI/2009 tentang
Unit Usaha Syariah (UUS)
[10]
Dalam hal salah satu pihak yang akan mendirikan Bank
Umum Syariah adalah badan hukum asing, yang bersangkutan terlebih dahulu harus
memperoleh rekomendasi dari otoritas perbankan negara asal. Rekomendasi
dimaksud sekurang-kurangnya memuat keterangan bahwa badan hukum asing yang
bersangkutan mempunyai reputasi yang baik dan tidak pernah melakukan perbuatan
tercela di bidang perbankan.